Sebuah
acara di stasiun televisi swasta yang disiarkan beberapa waktu yang
lalu dirasakan cukup mengganggu sebuah pakem akan informasi dan
seakan-akan justru lebih mendiskreditkan aktivitas luar ruang (outdoor) dengan menggunakan sepeda motor khususnya motor trail, atau yang kemudian sering disebut dengan motoadventure.
Penggunaan ungkapan “balapan liar, penggerus gunung, penyebab kerusakan
hutan” seakan-akan memang benar telah dilakukan oleh komunitas penggiat
olah raga bermotor di alam bebas.
Perbedaan
pemikiran kerap terjadi, khususnya mengenai pemahaman tentang
permasalahan yang menyangkut aktivitas sehubungan dengan kegiatan itu
sendiri. Pertama adalah pemahaman akan kegiatan motoadventure dengan
motocross, kedua adalah pemahaman mengenai kegiatan motoadventure dan
terakhir adalah pemahaman mengenai kerusakan hutan dan biodiversitas itu
sendiri.
Motocross dan Motoadventure
Sebagai
awal maka yang harus diperjelas adalah perbedaan antara motoadventure
dengan motocross yang ujungnya akan melihat korelasi antara aktivitas
motoadventure dengan sebutan istilah balapan liar. Mengutip dari
American Heritage Dictionary maka motocross atau yang biasa disingkat
dengan MX adalah A cross-country motorcycle race over a closed course of rough terrain with steep hills and sharp curves. Also called scramble. Kata-kata penting yang harus digarisbawahi adalah over a closed course
atau dapat diartikan sebagai sirkuit tertutup dan bukan di jalan raya
apalagi di hutan maupun jalan desa. Lantar, apakah penggunaan istilah
balapan liar itu tepat? Jelas tidak. Kegiatan motocross, termasuk di
dalamnya adalah kegiatan grasstrack adalah kegiatan didalam sirkuit dan
dilaksanakan dengan semangat kompetisi untuk menaklukkan lawan dan
menjadi yang tercepat. Sebagai imbalan, maka pembalap diberikan
kompensasi berupa hadiah dalam bentuk uang dan piala serta memperoleh
angka yang dikumulasikan untuk menentukan seeded atau tingkatan pembalap secara keseluruhan.
Berbeda dengan motocross, maka motoadventure bukan dilaksanakan di sirkuit tertutup. Sebutan adventure
dirasakan tepat, oleh karena penggiat kegiatan ini cenderung
berpetualang dengan menggunakan sepeda motor trail (ataupun rubahan)
melalui jalan setapak (jalan air, jalan desa maupun lainnya) dan
dilakukan bukan sebagai kompetisi akan tetapi sebagai sebuah bentuk
petualangan. Sebagai akibatnya, maka kegiatan motoadventure tidak akan
memperoleh hadiah, paling banter dalam event-event tertentu adalah
doorprize.
Bagaimana
dengan kecepatan dalam melakukan kedua aktivitas diatas? Motocross yang
dilakukan di sirkuit tertutup dengan semangat kompetisi dilakukan
dengan kecepatan tinggi, oleh karena itu maka mesin untuk sepeda motor
yang digunakan untuk kegiatan motocross juga didesain untuk dapat dipacu
secepat mungkin, bahkan melompat tinggi karena dilengkapi dengan
suspensi yang sesuai. Berbeda dengan kegiatan motoadventure, maka yang
dibutuhkan adalah tenaga serta kendaraan yang tidak terlalu tinggi (kaki
harus menapak) untuk dapat menjaga keseimbangan. Kecepatan
pada sepeda motor untuk kegiatan adventure rata-rata tidak terlalu
tinggi, karena pada umumnya menggunakan mesin standard pabrik dengan
sedikit modifikasi.
Aktivitas Motoadventure
Kedua
adalah mengenai aktivitas kegiatan motoadventure itu sendiri.
Motoadventure jelas dilaksanakan dengan memanfaatkan lingkungan yang ada
untuk dapat dijelajahi dengan kendaraan bermotor roda dua. Penggiat
kegiatan motoadventure terdiri dari tua maupun muda dan kegiatan
dilaksanakan untuk menaklukkan tantangan yang tersedia di jalur yang
dilintasi dengan semangat kebersamaan, dan bukan semangat kompetisi.
Tantangan
yang dihadapi adalah tantangan yang tersedia di jalur yang dilalui,
seperti misalnya turunan atau tanjakan yang curam, jalan yang licin dan
berlumpur, sungai, pepohonan baik yang besar maupun yang kecil yang
terdapat disisi jalur dengan tidak merubah atau merusaknya. Untuk
mendukung hal ini, maka para penggiat kegiatan motoadventure biasanya
melaksanakan aktivitasnya dengan berkelompok serta melengkapi diri
dengan beberapa peralatan standar untuk memperbaiki kerusakan kendaraan,
menambal ban serta webbing untuk menarik kendaraan yang rusak.
Rupa
jalur pada umumnya adalah jalan setapak yang memang sudah tersedia.
Jalur berupa jalan setapak pada umumnya adalah jalur yang digunakan oleh
masyarakat setempat untuk mencari kayu, sebagai jalan pintas menuju
wilayah lain, jalur air maupun jalur menuju ke kebun atau lahan
pertanian masyarakat. Pembukaan jalur baru diluar dari jalur yang sudah
ada jarang bahkan tidak pernah dilakukan disebabkan keterbatasan
peralatan dan faktor resiko atau bahaya yang mungkin terjadi. Jelas
bahwa dengan cara ini, jalur yang relatif tetap dan tidak seimbang
dengan meningkatnya penggemar kegiatan motoadventure maka tidak jarang
pada musim penghujan, jalur jalan yang tersedia menjadi semakin dalam
sebagai akibat penggerusan dari ban sepeda motor itu sendiri.
Sebagian
besar offroader umumnya sudah memahami tehnik mengendarai kendaraan di
lingkungan basah. Mengurangi kerusakan jalur dapat dilakukan dengan
tidak memaksakan roda kendaraan berputar cepat pada saat kendaraan tidak
dapat melaju yang disebabkan jalur yang licin. Bantuan tenaga manusia
dengan mendorong kendaraan supaya maju pada putaran mesin yang rendah
juga sudah diterapkan. Akan tetapi dengan semakin meningkatnya penggiat
motoadventure, maka penerapan teknik diatas terkadang tidak dipahami
sepenuhnya oleh sebagian kecil offroader yang kemudian akan memaksakan
kendaraan yang ditungganginya untuk dipacu pada putaran tinggi dan
menyebabkan kerusakan jalur.
Pengelolaan Hutan
Ketiga
adalah menyangkut pengelolaan hutan yang kerap bersinggungan dengan
para penggiat kegiatan motoadventure. Sebagai contoh adalah Gunung
Tangkuban Perahu yang disebut sebagai kawasan konservasi sesuai dengan
apa yang disiarkan pada acara di stasiun televisi beberapa waktu yang
lalu. Untuk tidak mengecoh pemahaman publik tentang masalah hutan, maka
perlu dipahami berbagai peraturan dan produk hukum tentang pengelolaan
hutan sebagai berikut.
Berdasarkan
ketentuan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kita
mengenal mengenai hutan dan klasifikasinya yang dilakukan berdasarkan
fungsi pokok atas:
1. Hutan konservasi
2. Hutan lindung, dan
3. Hutan produksi
Hutan konservasi adalah
kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. terdiri
dari :
1. kawasan hutan suaka alam
adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
sebagai sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan,
2. kawasan hutan pelestarian alam
adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya, dan
3. taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
Undang-undang
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, dikenal kawasan konservasi dan klasifikasinya yaitu:
Kawasan Suaka Alam
adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di
perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi
sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, yang mencakup :
1. Kawasan cagar alam
adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai
kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang
perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
2. Kawasan suaka margasatwa
adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa
keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan
hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Gunung
Tangkuban Perahu adalah Cagar Alam dan Taman Wisata Tangkuban Perahu
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
528/Kpts/Um/9/1974 tanggal 3 September 1974 seluas 1.290 hektar untuk
Cagar Alam dan 370 hektar untuk Taman Wisata yang terletak di Kecamatan
Sagala Herang, Kabupaten Subang, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung
Sebagai kawasan Cagar Alam maka di kawasan Gn. Tangkuban Perahu dilarang
untuk:
1. Melakukan perburuan terhadap satwa yang berada di dalam kawasan
2. Memasukan jenis-jenis tumbuhan dan satwa bukan asli ke dalam kawasan
3. Memotong, merusak, mengambil, menebang, dan memusnahkan tumbuhan dan satwa dalam dan dari kawasan
4. Menggali atau membuat lubang pada tanah yang mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa dalam kawasan, atau
5. Mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa
Larangan
juga berlaku terhadap kegiatan yang dianggap sebagai tindakan permulaan
yang berkibat pada perubahan keutuhan kawasan, seperti :
1. Memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan, atau
2. Membawa
alat yang lazim digunakan untuk mengambil, mengangkut, menebang,
membelah, merusak, berburu, memusnahkan satwa dan tumbuhan ke dan dari
dalam kawasan.
Melihat
kondisi diatas, maka agak sedikit sulit dijelaskan larangan kepada
pengendara sepeda motor sehubungan dengan berbagai larangan sesuai
dengan aturan-aturan diatas. Kalaupun ada, atau dipaksakan ada, maka
aturan yang mungkin berhubungan adalah menggali atau membuat lubang,
mengubah bentang alam atau membawa alat yang lazim digunakan untuk
merusak satwa dan tumbuhan. Akhirnya aturan yang ada sama sekali tidak secara langsung berhubungan dengan kegiatan motoadventure, malah seakan-akan lawakan dari paksaan sebuah aturan.
Alternatif Solusi Motoadventure dan Lingkungan
Lantas, bagaimana hubungan antara kegiatan motoadventure dengan pengelolaan hutan, khususnya kawasan Tangkuban Perahu?
Ketiadaan
informasi sebagai kurangnya sosialisasi tentang batas-batas hutan dan
zonasi merupakan sebuah alasan ketidaktahuan masyarakat temasuk
penggemar motoadventure terhadap kawasan hutan Gunung Tangkuban Perahu.
Disisi lain, pembangunan yang dilaksanakan dari mulai jalan masuk hingga
kawasan wisata Tangkuban Perahu juga menjadi sebuah gambaran tumpang
tindihnya peraturan serta kewenangan pengelolaan antara BKSDA, Perhutani
dan Pemerintah Daerah.
Tumpang
tindihnya peraturan ini juga terlihat pada saat wawancara antara team
dari televisi swasta dengan salah satu petugas BKSDA, yang jelas
menyatakan bahwa banyaknya jalan masuk menuju ke Gunung Tangkuban Perahu
khususnya melalui area Perhutani dan dipungut bayaran oleh Perhutani.
Menyalahkan
aktivitas motoadventure dan melarang kegiatan motoadventure bukan
merupakan solusi. Kurangnya tenaga pengawas, lemahnya pelaksanaan
sosialisasi serta tidak terintegrasinya sebuah pola pengembangan program
juga adalah sebuah masalah yang secara internal harus mampu
diselesaikan oleh seluruh pihak-pihak yang saling berkepentingan.
Kerusakan
jalur yang terjadi akibat penggerusan ban sepeda motor dapat
ditanggulangi melalui pelaksanaan kerjasama antara pengelola atau
penanggungjawab kawasan Gunung tangkuban Perahu dengan klub-klub motor
yang kerap melalui lintasan tersebut. Kerjasama dilakukan untuk
memberikan pemahaman mengenai dampak dari kerusakan jalur dan cara
penyelesaian masalah. Beberapa alternatif solusi yang dianggap lebih
baik dapat dilakukan dengan cara:
1. Pembangunan
pos di kawasan Cagar Alam yang kemudian menerapkan sistem yang sama
dengan yang diterapkan Perhutani untuk kemudian dengan memanfaatkan
masyarakat sekitar ikut memelihara lintasan atau jalur yang ada. Secara
tidak langsung, kegiatan ini juga akan ikut memberikan keuntungan
ekonomi bagi masyarakat sekitar dan tidak kemudian ikut serta melakukan
pembalakan hutan.
2. Membangun jalur baru yang tidak atau meminimalisasi persinggungan dengan kawasan cagar alam.
3. Kerjasama pengawasan biodiversity bersama beberapa klub motor trail di kota Bandung dan sekitarnya untuk meningkatkan mobilitas pengawasan itu sendiri,
4. Merancang sebuah bentuk pariwisata alternative melalui kegiatan bermotor seperti yang sudah banyak dikembangkan di negara-negara lain seperti:
a. Northern California National Forest
b. Bokor National Park, Kamboja
c. Cotopaxi National Park, Ecuador
d. Kakadu National Park, Darwin, Australia
5. Merancang, menetapkan dan melakukan sosialisasi mengenai etika dalam melaksanakan kegiatan motoadventure.
Solusi
diatas adalah merupakan sebuah perumpamaan alternatif yang harus
dibangun dengan cara duduk bersama untuk mencapai saling pengertian dan
upaya pemecahan masalah tanpa saling menyalahkan antara yang satu dengan
yang lain.
(Sumber : Deddy Adisudharma )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar